Backlog Perumahan di Indonesia untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih cukup tinggi, namun dukungan alokasi dana subsidi dari pemerintah cenderung menurun. Program Sejuta Rumah (PSR) pun terancam gagal jika penambahan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Properti (FLPP) yang saat ini menipis tidak segera dicairkan.
“Backlog rumah didominasi oleh segmen masyarakat berpenghasilan Rp 7 juta ke bawah, sementara dana alokasi perumahan untuk segmen ini masih terbatas,” ungkap Plt. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Properti, Setyo Maharso di Menara Kadin Indonesia, Kamis (23/1/2020).
Setyo mengatakan, dana FLPP sudah lampu merah dan membahayakan sehingga perlu dicarikan alternatif substitusi. Sedikitnya ada 174 industri ikutan yang terkait dalam lingkaran industri properti yang dinilai sebagai salah satu sektor yang bisa menggerakkan perekonomian nasional secara masif.
“Keberlangsungan stabilitas industri properti perlu dijaga. Salah satunya dengan penambahan kuota FLPP dan alternatif subtitusinya,” kata Setyo.
Dia menyebutkan, ada beberapa jalan yang bisa ditempuh di antaranya adalah pertama, pengalihan dari dana bantuan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) dan subsidi bantuan uang muka (SBUM) menjadi mekanisme Subsidi Selisih Bunga (SSB) untuk tahun 2020. Pengalihan ini akan menambah bantuan sebesar 128.125 unit.
Kedua, Setyo menyebut dana APBD yang mengendap bisa menjadi alternatif pembiayaan yang bisa dikembangkan. Dana pemerintah pusat yang mengendap di rekening pemda hingga Rp 186 Triliun bila ditarik ke pusat 10%, yakni Rp 18,6 Triliun bisa dialihkan ke perumahan sederhana.
Hal ini sesuai dengan UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bahwa rumah umum mendapatkan kemudahan dan/atau bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah.
Ketiga, lanjut dia, yakni dengan optimalisasi peranan BPJS TK dan SMF untuk perumahan yang perlu didorong, karena selama ini porsi penyalurannya yang masih sedikit. Untuk BPJS TK, perlu ada titik temu di Kemenaker untuk tingkat bunga optimal antara bank dan BPJS TK agar nanti dengan perbankan dan peserta bisa optimal dalam penyaluran perumahan pekerja. Sementara SMF dapat ditingkatkan peranannya secara lebih besar untuk pembiayaan perumahan rakyat. Perlu ditingkatkan fleksibilitas SMF dalam mendapatkan dan menyalurkan pendanaan.
Keempat, Setyo mengatakan potensi sumber pendanaan juga bisa dari realokasi sebagian APBN 2020 untuk subsidi LPG yang mungkin tidak tepat sasaran.
“Sekarang ini jumlah anggaran untuk rumah subsidi sudah semakin ketat, program yang mengacu kepada APBN pun masih akan sulit untuk mendapatkan alokasi dana tambahan. Kita harapkan semua pihak mulai dari pemerintah dan DPR bisa mendukung realisasi program perumahan untuk rakyat melalui optimalisasi kebijakan fiskal,” tambah dia.
Sementara itu, dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) belum bisa dimanfaatkan sebagai alternatif karena masih menunggu mekanisme yang siap untuk karyawan swasta. Sementara 2020 ini berlaku hanya untuk ASN, TNI, Polri.
“Dana Tapera belum bisa langsung diberdayakan karena sumber dasarnya adalah tabungan sehingga masyarakat harus nabung dulu baru bisa untuk pendanaan rumah,” kata Setyo.
Empat alternatif subsitusi tersebut merupakan kesimpulan dari hasil koordinasi antara Kadin Properti dengan beberapa stakeholder terkait dalam pendanaan perumahan MBR antara lain Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), PPDPP (Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan), SMF (Sarana Multigriya Finansial), BPJS TK (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) dan BTN (Bank Tabungan Negara) termasuk dengan asosiasi perumahan seperti REI (Real Estate Indonesia), Himppera (Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat) dan PI (Pengembang Indonesia) beberapa waktu lalu di Jakarta.

Ketua Umum Pengembang Indonesia (PI) Barkah Hidayat menyebut, sebanyak 85% anggota PI adalah pengembang perumahan FLPP yang sangat rentan terhadap pergerakan pembiayaan konsumen. “Jika pembiayaan terhambat maka akan ada multiplier effect ke stakeholder lain yaitu perbankan, kontraktor, vendor dan akhirnya ke konsumen juga”.
Oleh karena itu, sambung Barkah, ke depan agar tidak terjadi lagi hal seperti ini, sebaiknya angka kuota FLPP tidak ditentukan sepihak oleh pemerintah namun berdasarkan data bersama seluruh organisasi. Dengan begitu, akan diketahui berapa besar kebutuhan sebenarnya.
Dia pun menegaskan, pihaknya banyak menerima laporan dari daerah mengenai rumitnya aturan dengan aplikasi FLPP. Harapannya, ke depan prosedur FLPP dapat dipermudah. “Jangan sampai rumahnya sederhana, tapi peraturannya tidak sederhana,” pungkas dia.